Logo Muhammad

Adab memasang photo Guru menurut Habib Lutfi Bin Yahya.

Ada seorang bertanya kepada Maulana Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya, “Pada suatu hari saat Kiai Abdul Jalil Kudus ke rumah saya, setelah duduk beberapa saat sambil memandangi gambar-gambar yang menempel di dinding, beliau marahi saya. Beliau berkata lantang layaknya mubaligh di atas podium dengan keras: ‘Turunkan gambar-gambar ini!’ Padahal gambar-gambar tersebut adalah lukisan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husein, Imam Ghazali, Syekh Abdul Qodir Jaelani dan Wali Songo.”“ Setelah Gambar itu saya turunkan, kemudian beliau berkata: ‘Lebih baik engkau pasang guru-gurumu, ulama-ulama sekarang dan habaib yang engkau kenali sehingga engkau bisa rabithah kepadanya.’ Yang ingin saya tanyakan adalah, bagaimana halnya dengan gambar-gambar tersebut, yang Kiai Abdul Jalil menyuruh menurunkannya? Dan apa arti ucapan Rabithah ? Mohon penjelasan dari Habib.” Habib Luthfi Bin Yahya menjawab: Apa yg dilakukan Kiai Abul Jalil tidak lain adalah karena sayangnya seorang guru kepada muridnya dan untuk mengarahkan agar tidak menyimpang dalam memahami sesuatu. Gambar seperti Imam Ghazali, misalnya dikhawatirkan gambar itu hanya imajinasi pelukisnya. Imam Ghazali hidup pada 800 tahun yang lalu bahkan lebih. Kemudian gambar-gambar seperti Wali Songo, itupun pelukisnya sendiri tidak menjumpai dan mengalami kehidupan mereka, sehingga gambar itu bisa saja diambil dari imajinasi. Maka ulama yang mengetahui akan hal itu menekankan, lebih baik memasang gambar-gambar yang jelas kebenarannya, yang mana banyak orang menyaksikan dan mengalami kehidupan mereka. Ketika memandang foto-foto mereka, kita tidak akan terpengaruh khayaliyah si pelukis,karena saksi hidup dan potret itu sendiri sudah banyak disaksikan oleh orang-orang yang hidup sezaman dengan mereka. Nah, agar tidak terpengaruh khayaliyah itulah, para kiai sepuh lebih banyak menekankan agar murid-muridnya memasang foto-foto tersebut. Jadi melihat gambar yang belum dapat dipastikan benar atau tidak wajah-wajah mereka, karena pada zaman mereka belum ada teknologi fotografi. Adapun kata Rabithah artinya adalah ‘menyatu’. Yang menyatu bukan ruhnya, bukan pula fisiknya, akan tetapi menyatu dengan lembaran-lembaran akhlak budi pekerti mereka dan cara mereka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah makna kita rabithah kepada mereka. Selanjutnya dengan rabithah kita tersebut, maka kita dapat bercermin dengan segala panutan dan teladan yang ada pada diri mereka. Ada seseorang berkata pada Pangersa Abah Aos, “Maaf Abah, saya hanya baru bisa Rabithah kepada Abah.” Abah menjawab, “Tidak apa, yang penting jaga Rabithah kepada Allah SWT. dengan dzikir qalbu. (Abdullah Arsyad Indahnya Berthoriqoh.

Bagikan :

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Close
Close