"Aturan Bergaul dengan Lawan Jenis"
Bagaimana aturan bergaul dengan lawan jenis? Apakah ada aturan dalam agama Islam?
https://youtu.be/8f1kBW45lVk
Kenali dulu siapa mahram kita
Dalam ayat yang membahas tentang mahram disebutkan,
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisaa’: 22-24)
Yang termasuk mahram yang disebutkan dalam ayat di atas dipandang dari sisi laki-laki:
ibu kandung atau istri dari bapak.
anak perempuan.
saudara perempuan.
saudara bapak yang perempuan.
saudara ibu yang perempuan.
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki.
anak-anak perempuan dari saudara perempuan.
ibu persusuan.
saudara perempuan sepersusuan.
ibu mertua.
anak dari janda di mana telah berlangsung akad dan hubungan intim dengan janda tersebut.
istri-istri anak kandung (menantu).
saudara perempuan dari istri (ipar).
wanita yang bersuami.
Catatan: Sifat ipar (saudara dari istri) dan wanita yang bersuami, juga anak dari janda di mana sudah menikah namun janda tersebut belum disetubuhi, maka sifat mahramnya hanya sementara (mahram muaqqot), namun tetap dalam bergaul dianggap seperti bergaul dengan wanita lain (yang bukan mahram). Sedangkan dua belas lainnya masuk dalam mahram muabbad (mahram selamanya), berarti selamanya itu mahram dan tidak boleh dinikahi.
Wanita boleh menampakkan perhiasan kepada siapa?
Perhiasan wanita hanya boleh ditampakkan pada: (1) suami, (2) ayah, (3) ayah suami (mertua), (4) anak laki-laki, (5) anak laki-laki dari suami, (6) saudara laki-laki, (7) anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan), (8) anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan), (9) wanita Islam, (10) budak yang dimiliki, (11) pelayan laki-laki yang tidak lagi punya syahwat pada wanita, (12) anak-anak yang belum mengerti aurat wanita.
Dalilnya adalah firman Allah,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖوَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖوَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚوَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)
Yang boleh dipandang dari mahram
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun hukum seorang pria melihat dan memandang mahramnya, pendapat yang paling kuat (perselisihannya tidak terlalu kuat dalam madzhab, pen.), yang boleh dilihat hanya yang di atas pusar dan di bawah lutut. Ada pendapat lain pula (dalam madzhab Syafi’i) yang mengatakan hanya boleh melihat seperti keadaan ketika berkhidmat dan beraktivitas dalam rumah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 4:30).
Pada selain mahram, tundukkan pandangan
Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)
Pada selain mahram, tidak boleh berdua-duaan (khalwat)
Dari ‘Umar bin Al-Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا وَمَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.” (HR. Ahmad, 1:18. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ
“Ketahuilah! Seorang laki-laki bukan mahram tidak boleh bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah, atau ada mahramnya.” (HR. Muslim, no. 2171)
Tidak boleh bercampur baur dengan lawan jenis dengan mudahnya
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِى تَسْلِيمَهُ ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِى مَقَامِهِ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ يَقُومَ . قَالَ نَرَى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَىْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika salam dari shalat, para jama’ah wanita kala itu berdiri. Beliau tetap duduk di tempat beliau barang sebentar sebelum beranjak. Kami melihat –wallahu a’lam– hal itu dilakukan supaya wanita bubar lebih dahulu sebelum berpapasan dengan para pria.” (HR. Bukhari, no. 870)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf laki-laki (dalam shalat berjamaah, pen.) adalah yang paling depan dan yang paling jelek adalah shaf yang paling belakang. Sebaliknya, shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang dan yang paling jelek adalah yang paling depan.” (HR. Muslim, no. 440).
Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ulama Syafi’iyah mengharamkan berjabat tangan dengan yang bukan mahram, juga tidak mengecualikan yang sudah sepuh yang tak ada syahwat atau rasa apa-apa. Mereka pun tidak membedakannya dengan yang muda-muda. Lihat bahasan dalam Kunuz Riyadh Ash-Shalihin,
Fadilah Bulan Rabiul Awal: Keutamaan dan Makna dalam Tradisi Islam
Bulan Rabiul Awal adalah bulan yang penuh berkah dan makna bagi umat Islam. Salah satu alasan utama adalah karena...
0 Comments