Para jamaah mushola Baiturrahman yg saya cintai, melalui kesempatan waktu inilah kita bersama sama membangun karakter hidup untuk lebih baik dengan belajar TAFAKUR merenung dalam hati (kalbu) mencoba belajar menerima kenyataan hidup yang sebenarnya.
Sebab kita hidup di dunia ini adalah sebuah pilihan, yang mana pilihan itu ada yg menjurus ke hal yang negatif dan adapula pilihan hidup dalam hal yang positif. Terlebih dengan adanya kita disini sebagai hamba Tuhan yang kotor minimal belajar untuk mengurangi kotoran tersebut dan sedukit demi sedikit kita bersihkan supaya kita dapat merubah prinsip dan karakter hidup yang lebih baik. Adapun pembahasan kita hari ini sesuai dengan tema kita " RENUNGAN KALBU DENGAN TAFAKKUR ".
Adapun pembahasan kita hari ini sesuai dengan tema kita " RENUNGAN KALBU DENGAN TAFAKKUR ".
Apa sih maksut dan pengertian tafakkur ......? Mari kita bedah bersama melalui kesempatan waktu ini agar kita dapat ilmu untuk memaknai dan memahami serta menerapkan dalam kehidupan kita sehari hari.
Tafakur secara luas dimaknai sebagai sikap kita dalam merenungi dan memahami ayat-ayat Allah di muka bumi dengan tujuan untuk meningkatkan dan menambah keimanan kita. Ayat tentang perintah untuk tafakur dalam Al-Quran lebih dari 50 ayat. Salah satunya dapat kita baca dan sering kita dengar adalah Q.S Al-Imron ayat 190-191:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Arab-Latin: inna fī khalqis-samāwāti wal-arḍi wakhtilāfil-laili wan-nahāri la`āyātil li`ulil-albāb Terjemah Arti: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan semua ini sia sia, Maha suci engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.
Dalam surat tersebut disebutkan Ulul albab yaitu orang yang mengingat Allah saat berjalan duduk berbaring. Maksudnya, setiap langkah dan jalan hidupnya selalu dibimbing oleh Allah.
Orang-orang beriman itu selalu berzikir saat berbaring, berjalan, berdiri ataupun duduk. Semisal, para santriwan/sabtriwati yang berjuang sungguh-sungguh untuk belajar tentang agamanya, sampai orang tuanya menjadi senang , itu bisa dikatakan berzikir, berzikir secara prilaku.
Tafakur intinya memikirkan secara mendalam tanda-tanda kekuasaan Allah. Tanda-tanda kekuasaan Allah di bumi, langit, dan di antara keduanya.
Rasulullah SAW bersabda, “Tafakur satu jam lebih baik ketimbang ibadah 60 tahun lamanya.” (Antara lain termaktub dalam kitab Nashaih al-Ibadkarya an-Nawawi al- Bantani).
Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Tidak ada ibadah yang semisal dengan tafakur. “
Al-Hifni berkata, “Tafakur mengenai ciptaan Allah seperti mengerikannya detik-detik sakarat al-maut, beratnya siksa di alam kubur/barzah, dan mencekamnya suasana pada hari kiamat jauh lebih baik dari ibadah lantaran di dalamnya terkandung banyak kebaikan.”
Tafakur Ayat-Ayat Allah
Metode tafakur itu terbilang banyak. Tetapi, yang paling baik adalah tafakur tentang ayat-ayat Allah. Dengan pengertian, memikirkan secara mendalam keajaiban-keajaiban ciptaan Allah di bumi, langit, dan di antara keduanya.
Banyak firman Allah yang menyeru kita untuk memikirkan secara mendalam ciptaan-Nya.
Allah SWT berfirman,
“Maka, apakah mereka tidak memerhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, bagai mana ia ditinggikan? Dan gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (QS al-Ghasiyah [88]: 17-20).
Tafakur Diri Sendiri
Allah juga menyeru kita untuk memikirkan secara mendalam tentang diri kita sendiri. Sang Khalik berfirman,
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di bumi itu terdapat tanda- tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada diri kalian. Maka, apakah kalian tidak memerhatikan?” (QS adz-Dzariyat [51]: 20?21).
Maka, perhatikanlah sesering mungkin organ tubuh kita seluruhnya dengan fungsinya masing-masing.
Lahirnya ilmu-ilmu itu dihasilkan dari proses tafakur. Karena tafakur itu proses mengasah intelektual sehingga orang yang banyak tafakur akan menjadi orang berilmu pada bidangnya masing-masing.
Dengan demikian ia cerdas secara intelektual memahami ayat Allah dengan akal sehingga melahirkan ilmu pengetahuan. Juga cerdas secara spiritual dimana keimanan dan ketakwaannya kepada Allah semakin tinggi. Manusia itu dimuliakan karena akalnya, sehingga akal harus kita sesuaikan dengan minat dan potensi kita untuk bertafakur, sehingga dari tafakur akan lahir kemuliaan dan peradaban.
Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Idealnya Seorang Muslim harus membiasakan diri bertafakur dengan cara sebagai berikut :
- Pertama, apakah sesuatu yang saya akan lakukan diridhoi Allah atau tidak?
- Kedua, jika ternyata suatu jalan itu tidak disukai Allah, bagaimana cara kita menjauh dan terhindar darinya?
Oleh karena itu, insan beriman mesti selektif terhadap dirinya agar terlepas dari segala hal yang tidak mengundang keridhoan-Nya.
Dalam Ihya’ Ulumuddin Imam Ghazali juga memberikan kita panduan, bahwa seorang Muslim patut berpikir kemudian mengevaluasi pada setiap aktivitas anggota tubuhnya.
Terhadap lisan misalnya, “Sesungguhnya lisan itu menghadap kepada mengumpat, berdusta, menyucikan diri, menertawakan orang lain, berbantah-bantahan, berenda-gurau dan terjun pada apa yang tidak penting dan lain-lainnya dari yang disukai.”
Buya Hamka dalam bukunya Pribadi Hebat menegaskan bahwa “Lidah mewakili kebatinan kita.” Oleh karena itu kendalikan lidah dengan tafakur. Al-Jahiz berkata, “Sebaik-baik perkataan adalah sedikit, tetapi bermanfaat daripada banyak bicara, tetapi kosong.”
Pada akhirnya, tafakur memang benar-benar kita butuhkan untuk selamat dunia-akhirat. Ibnu al-Jauzi dalam bukunya Shaid al-Khatir menuliskan, “Orang yang memikirkan akhir kehidupan pasti akan menaruh kewaspadaan, dan orang yang meyakini lamanya perjalanan tentu akan melakukan persiapan.”
Tafakur sesuai Ahlinya
Cara tafakur juga harus dikembalikan kepada bidangnya masing-masing. Orang yang ahli kedokteran harus tafakur di bidang tersebut, juga berlaku bagi bidang lainnya.
Sebagai contoh ketika telinga kita terbatas untuk mendengar, dengan tafakur lahirlah alat telekomunikasi yang bisa menghubungkan orang dari belahan dunia, dan mengatasi pendengaran kita yang terbatas tadi. Karena kita bisa mendengar suara dari jarak jauh, yang sebelumnya belum terpikirkan.
Orang yang tafakur akan perilaku burung kemudian melahirkan dan tercipta pesawat terbang. Orang tafakur akan perilaku ikan maka akan melahirkan kapal laut dan kapal selam. Demikian juga dengan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya.
Jadi tafakur itu bagaimana cara kita mengarahkan seluruh pikiran kita untuk menemukan ilmu, setelah menjadi orang berilmu yang harus dimunculkan adalah kerendahan hati. Orang-orang yang beriman (kaum muslim) seharusnya mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebanyak-banyak karena ia mengimani ayat-ayat Allah dan memikirkannya.
Buah dari Tafakur
Tafakur dengan benar tinggi harganya. Lantaran dengannya akan menghasilkan beragam buah.
Di antaranya, Menumbuhkan benih-benih ketauhidan dan memperkokoh keyakinan kepada Allah.
- Buah dari keyakinan kepada Allah akan memunculkan hati yang tenang karena Dia pasti akan mewujudkan janji-janji-Nya.
- Buah dari keyakinan kepada Allah akan melahirkan perasaan cinta kepada-Nya karena Dia pasti akan mencintai orang-orang yang mencintai-Nya.
- Buah dari keyakinan kepada Allah akan memunculkan perasaan takut kepada-Nya karena Dia pasti akan menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang durhaka kepada-Nya dengan seadil-adilnya.
- Buah dari keyakinan kepada Allah akan memunculkan perasaan malu kepada-Nya karena Dia pasti akan mengamati gerak-gerik orang- orang yang taat dan orang-orang yang maksiat kepada-Nya secara saksama.
- Buah tafakur, kita bisa melihat potensi bahaya hawa nafsu yang tersembunyi di dalam diri kita, mengetahui tipu daya setan, serta kelengahan dan kelalaian diri yang merasa benar dalam ketidak bermanfaatan sepanjang hari seumur hidup.
Oleh karena itu, Tafakur itu wajib dilakukan. Kenali diri dan kenali ciptaan Allah Swt sehingga menjadi muslim yang shalih. Selalu membaca dan memahami Al Qur’an agar hidup selamat dunia dan akherat.
Syekh M Nawawi Banten mengatakan bahwa para ulama mencoba memberikan penjelasan perihal jenis tafakur yang disinggung oleh ayat tersebut. Menurut para ulama, tafakur itu terdiri atas lima jenis.
قال جمهور العلماء التفكر على خمسة أوجه
Artinya, “Mayoritas ulama menyebut lima jenis tafakur" Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memasukkan kata “tafakur” dengan makna renungan, perenungan, perihal merenung, memikirkan, menimbang dengan sungguh-sungguh, dan pengheningan cipta.
Adapun lima jenis tafakur yang dikutip oleh Syekh M Nawawi Banten dari mayoritas ulama adalah sebagai berikut:
- Pertama, tafakur dalam rangka merenungi ayat-ayat Allah. Dalam tafakur ini, seseorang harus bertawajuh dan meyakininya.
- Kedua, tafakur dalam rangka merenungi nikmat-nikmat Allah. Tafakur ini dapat melahirkan mahabbah atau cinta pada diri seseorang kepada-Nya.
- Ketiga, tafakur dalam rangka merenungi janji-janji Allah. Tafakur ini dapat menyalakan atau menambah semangat beramal saleh di hati seseorang.
- Keempat, tafakur dalam rangka merenungi peringatan Allah. Tafakur ini dapat melahirkan rasa takut di hati seseorang kepada (siksa)-Nya.
- Kelima, tafakur dalam rangka merenungi kelalaian diri dalam menjalankan perintah-Nya. Tafakur ini dapat menumbuhkan rasa malu di hati seseorang.
Menanggapi poin kelima, Syekh M Nawawi Banten mengutip satu hikmah Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam-nya ketika seseorang tidak lagi merasa malu atas kelalaiannya dalam menjalankan perintah Allah.
من علامات موت القلب عدم الحزن على ما فاتك من الموافقات وترك الندم على ما فعلته من وجود الزلات
Artinya,
“Salah satu tanda kematian batin adalah ketiadaan rasa sedih pada dirimu atas perbuatan taat yang luput dan ketiadaan rasa sesal atas kesalahan yang kaulakukan.”
Selain hikmah ini, Syekh M Nawawi Banten juga mengutip hikmah lain dari Al-Hikam yang terjemahannya, “Rasa sedih atau rasa sesal atas luputnya perintah Allah di saat ini atau di masa lalu tanpa disertai semangat perbaikan diri di masa mendatang adalah satu ciri keterpedayaan.” Hikmah yang dimaksud oleh Syekh M Nawawi Banten adalah sebagai berikut:
الحزن على فقدان الطاعة مع عدم النهوض إليها من علامات الاغترار
Semua uraian ini merupakan upaya ulama dalam memahami tafakur dengan berbagai jenisnya.
Berdzikir diperintahkan berulang kali dalam Al-Qur’an dan hadits, dalam berbagai kondisi. Dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan ciri seorang ulul albab adalah orang yang senantiasa berzikir, sebagaimana dalam ayat berikut :
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ “
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran: 191). Lumrahnya, yang dinamakan dzikir adalah bacaan ibadah tertentu yang diucapkan dan bisa terdengar.
Tetapi tak jarang juga dzikir dilakukan dalam hati saja sehingga tak ada siapa pun yang tahu. Manakah di antara kedua praktik ini yang terbaik? Imam at-Thabari, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Batthal menjelaskan masalah ini sebagai berikut:
فإن قيل: أى الذكرين أعظم ثوابًا الذكر الذى هو بالقلب، أو الذكر الذى هو باللسان؟ قيل: قد اختلف السلف فى ذلك، فروى عن عائشة أنها قالت: لأن أذكر الله فى نفسى أحب إلىَّ أن أذكره بلسانى سبعين مرة. وقال آخرون: ذكر الله باللسان أفضل. روى عن أبى عبيدة بن عبد الله بن مسعود قال: ما دام قلب الرجل يذكر الله تعالى فهو فى صلاة، وإن كان فى السوق، وإن تحرك بذلك اللسان والشفتان فهو أعظم. “
Apabila dikatakan dzikir yang manakah yang lebih besar pahalanya, apakah yang di hati saja ataukah yang dengan lisan?, dijawab: Ulama Salaf berbeda tentang hal itu. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata: “Aku berdzikir kepada Allah dalam hati lebih aku sukai daripada Aku berzikir dengan lisanku 70 kali".
Tokoh lain berkata: “Dzikir dengan lisan kepada Allah adalah lebih utama". Diriwayatkan dari Abu Ubaidah bin Abdullah bin Masud ia berkata: “Selama hati seseorang berdzikir kepada Allah maka ia berada dalam doa meskipun ia di pasar.
Apabila lisan dan kedua bibirnya bergerak mengucapkannya, maka itu lebih besar pahalanya.” (Ibnu Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, X, 430) Imam at-Thabari kemudian mencoba mengompromikan kedua pendapat itu dengan merinci apakah ada potensi riya (keinginan untuk dipuji orang) dalam dzikir itu dan apakah pelakunya adalah seorang panutan atau bukan. Ia berkata:
والصواب عندى أن إخفاء النوافل أفضل من ظهورها لمن لم يكن إمامًا يقتدى به، وإن كان فى محفل اجتمع أهله لغير ذكر الله أو فى سوق وذلك أنه أسلم له من الرياء، وقد روينا من حديث سعد بن أبى وقاص عن النبى (صلى الله عليه وسلم) أنه قال: (خير الرزق ما يكفى، وخير الذكر الخفى) ولمن كان بالخلاء أن يذكر الله بقلبه ولسانه؛ لأن شغل جارحتين بما يرضى الله تعالى أفضل "
Yang benar menurutku adalah menyamarkan ibadah sunnah adalah lebih utama daripada menampakannya bagi selain imam yang diikuti oleh orang lain apabila ia berada dalam kerumunan orang yang tidak berdzikir kepada Allah atau berada di pasar, karena dzikir samar itu lebih aman baginya dari riya. ... Dan bagi orang yang sendirian hendaknya berdzikir kepada Allah dengan hati dan lisannya karena sibuknya anggota badan dengan sesuatu yang diridhoi Allah adalah lebih utama." (Ibnu Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, X, 430)
Dalam internal mazhab Syafi’i dan juga menurut beberapa ulama lainnya, dzikir dalam hati saja atau dzikir yang terucap sangat pelan sehingga pengucapnya sendiri tak mendengar, tidaklah bisa disebut kegiatan berdzikir sehingga tak ada pahalanya. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan pendapat para ulama tersebut sebagaimana berikut:
وَأَمَّا حَيْثُ لَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ فَلَا يُعَدُّ بِحَرَكَةِ لِسَانِهِ وَإِنَّمَا الْعِبْرَةُ بِمَا فِي قَلْبِهِ عَلَى أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَئِمَّتِنَا وَغَيْرِهِمْ يَقُولُونَ: لَا ثَوَابَ فِي ذِكْرِ الْقَلْبِ وَحْدَهُ وَلَا مَعَ اللِّسَانِ حَيْثُ لَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ “
Adapun sekiranya seseorang tidak membuat dirinya sendiri mendengar [apa yang diucapkan], maka gerakan lisannya tidaklah diperhitungkan tetapi yang diperhitungkan adalah apa yang ada dalam hatinya saja,
meskipun sekelompok para imam Syafi’iyah dan lainnya berkata: "tidak ada pahala dalam dzikir dalam hati saja, juga dalam dzikir yang bersama lisan tetapi dirinya sendiri tidak mendengarnya". (ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, III, 182).
Akan tetapi, ketiadaan pahala tersebut menurut Ibnu Hajar al-Haitami bila dipandang dari aspek dzikir secara khusus. Akan tetapi dari aspek menyibukkan hati dengan mengingat Alah, maka tetaplah berpahala, bahkan sangat baik. Ia menjelaskan:
وَيَنْبَغِي حَمْلُهُ عَلَى أَنَّهُ لَا ثَوَابَ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ الذِّكْرِ الْمَخْصُوصِ، أَمَّا اشْتِغَالُ الْقَلْبِ بِذَلِكَ وَتَأَمَّلْهُ لِمَعَانِيهِ وَاسْتِغْرَاقِهِ فِي شُهُودِهِ فَلَا شَكَّ أَنَّهُ بِمُقْتَضَى الْأَدِلَّةِ يُثَابُ عَلَيْهِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ الثَّوَابَ الْجَزِيلَ، وَيُؤَيِّدُهُ خَبَرُ الْبَيْهَقِيّ «الذِّكْرُ الَّذِي لَا تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ يَزِيدُ عَلَى الذِّكْرِ الَّذِي تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ سَبْعِينَ ضِعْفًا» اهـ بِحُرُوفِهِ “[
Ketiadaan pahala dzikir dalam hati atau dzikir sangat pelan higga tak terdengar itu sebaiknya diletakkan dalam konteks dzikir secara khusus. Adapun menyibukkan hati dengannya dan menghayati maknanya dan menghabiskan waktu merenungkannya maka tak diragukan bahwasanya sesuai tuntutan berbagai dalil yang ada ia mendapat pahala besar dari aspek ini.
Hal ini diperkuat dengan hadis dari al-Baihaqi: “Dzikir yang tak didengar para malaikat pencatat lebih bertambah pahalanya 70 kali daripada dzikir yang didengar oleh para malaikat.” (ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, III, 182).
Maksudnya, misalnya Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan agar membaca tasbih, tahmid dan takbir sebanyak 33 kali sehabis shalat wajib, maka anjuran ini hanya akan dianggap terlaksana dan mendapat pahalanya bila dibaca dengan lisan, tak cukup dibesitkan dalam hati saja. Inilah yang dimaksud pahala dzikir secara khusus. Namun bagi yang membacanya dalam hati bukan berarti tak mendapat pahala sama sekali tetapi ia mendapat pahala dari aspek merenung dan mengingat Allah, dan ini juga besar pahalanya.
Bila semua penjelasan ini digabungkan, maka kesimpulannya adalah: Dzikir yang diperintahkan secara khusus haruslah diucapkan dengan lisan agar mendapat pahala dari perintah khusus tersebut. Bila tidak diucapkan, masih ada pahala bagi yang mengingat Allah dalam hatinya.
Adapun dzikir yang umum tanpa ada perintah khusus sehingga bisa dibaca kapan saja di mana saja, maka perlu dilihat potensi riya di dalamnya. Bila ada potensi riya ketika membacanya, maka lebih utama dilakukan dalam hati. Akan tetapi bila aman dari potensi riya, misalnya ketika sendirian atau dilakukan oleh seorang panutan agar tindakannya ditiru orang lain, maka lebih utama dilakukan dengan hati sekaligus diucapkan dengan lisan.
Nah dengan demikian semua dzikhir baik dalam hati ataupun yang terucap dari lisan nya akan mendapat pahala besar kecilnya pahala hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui segala yang dilakukannya. Semua itu tergantung dari pada niat seseorang yang akan berdhikir.
Oleh katena itu marilah kita belajar Merenungi diri kita deba ber tafakur agar apa yang kita lakukan mendapat ridho dan Berkah Nya. Sesuai dengan judul ceramah taqlim hari ini "RENUNGAN KALBU DENGAN TAFAKUR"
Demikian sedikit ulasan mengenai arti dari pada RENUNGAN KALBU DENGAN TAFAKUR Dari berbagai nara sumber yang sudah sahih supaya kita umat muslim menjadi pandai dan cerdas serta selalu waspada.
Lebih dan kurangnya saya pribadi sebagai umat yang masih bodoh dan selalu ingin belajar akan pentingnya ilmu agama menyampaikan kepada sodara sodara sekalian jamaah mushola Baiturahhman swmoga diberi taufik dan inayahnya serta ilmu yang bermanfaat untuk kita hidup dalam bermasyarakat.
Akhirul kalam wabillah hitaufik walhidayah wassalamualaikum wr wb....
0 Comments