Logo Muhammad

Edisi kangen padamu ya Rosul…

Syaikh Abdur Rahim Amin Bukhari Rohimahulloh, merupakan seorang penulis kaligrafi terkenal untuk kiswah (kain penutup) Ka’bah, beliau adalah satu diantara 13 orang yang beruntung dan berbahagia mendapat pengalaman langka memasuki dan mengganti kain penutup makam Nabi Muhammad SAW. Kisah ini pertama kali dimuat dalam harian Alarabiyah.net (pada kamis,1 Robi’ul Awwal 1427 H atau 30 Maret 2006 M), yang mana wartawan Omar al-Midwahy melakukan wawancara langsung dengan dua orang saksi hidup yang pernah mendapat tugas mengganti kain penutup makam Nabi Muhammad SAW (pada tahun 1971 Masehi). Berikut ini akan kami sadur kembali kisahnya dengan sedikit penambahan dan penyelarasan. Aku (Omar al-Midwahy) masih ingat pada percakapan dengan seorang sepuh di Makkah sambil melihat tenunan mereka. Saat aku berada di Makkah, aku berkesempatan mengunjungi pabrik pembuat kain penutup ka’bah (kiswah). Dari situ aku mengetahui bahwa ternyata pabrik tersebut juga mendapat kehormatan untuk membuat kain penutup ruang makam Nabi. Aku bertemu pada waktu itu (beberapa tahun yang lalu), dengan seorang pria yang pernah ambil bagian dalam produksi dan instalasi (pemasangan) kain penutup makam Nabi SAW. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, sebab aku khawatir beliau akan meninggalkan dunia sebelum aku sempat mewawancarainya. Aku merekam setiap percakapan dengan mereka yang dicampur dengan rasa takjub dan tangis air mata. Terkadang aku jumpai mereka menceritakannya dengan penuh emosional seakan-akan pengalaman berharga itu terjadi kemarin, bukan seperempat abad yang lalu. Syaikh Muhammad Ali Madani, kepala divisi pabrik tenun otomatis pada waktu itu bermurah hati padaku. Aku mengetahui darinya bahwa beliau adalah salah satu dari beberapa pekerja yang ikut ambil bagian dalam menenun dan memasang kain penutup makam Nabi. Aku berkata padanya, ceritakan tentang tudung makam dan ruang makam Nabi SAW. Beliau menjelaskannya. Penglihatannya mengembara jauh, seolah-olah beliau membawa kenangan berharga di depannya. Kemudian beliau menjawab: “Pada hari itu, perasaan takjub begitu lengkap mengambil alih semua perhatianku, ini adalah tempat teragung di muka bumi, aku tidak tahu persis berapa panjang garis lingkarnya, tetapi menurut taksiran kami, RUANG MAKAM itu memiliki garis lingkar sekitar 48 meter”. “Kekaguman terhadap tempat itu sangat menarik perhatianku, aku begitu terpesona melihat lampu-lampu antik menggantung di langit-langit ruang, peninggalan dari zaman kuno, kami diberitahu bahwa ada beberapa peninggalan Nabi yang disimpan di tempat lain – aku tidak tahu dimana – tapi aku tahu bahwa beberapa benda bersejarah ada yang disimpan pada ruang Sayyidah Fatimah az-Zahra – di tempat yang sama, dimana beliau tinggal.” Syaikh Muhammad Ali Madani menambahkan, “Ruang itu sebagian besar tertutup kain tenunan yang terbuat dari sutra murni, berwarna hijau lembut dengan kain katun yang kuat, dan dimahkotai oleh sabuk yang mirip dengan penutup Ka’bah, tetapi ini berwarna merah. Seperempat bagian dari kain dibordir bertuliskan ayat Al-Qur’an yang mulia dari suroh al-Fath, terbuat dari garis kapas dan benang emas dan perak..” *Reporter Omar al-Midwahy menyebutkan bahwa penutup ruangan makam Nabi tidak seperti penutup Ka’bah yang saban tahun harus diganti, hal ini karena penutup makam Nabi terletak di dalam ruangan tertutup dan tak pernah tersentuh oleh siapapun. Penggantian hanya dilakukan apabila diperlukan. Setelah itu aku (Omar al-Midwahy) bertemu dengan Syaikh Ahmad Sahirty. Beliau adalah kepala divisi bordir di pabrik kain penutup Ka’bah dan Makam Rosululloh SAW. Terlihat jelas usianya yang sudah sepuh dan penglihatannya yang lemah. Beliau mengambil inisiatif untuk bercerita: “Bagaimana aku bisa mengungkapkan perasaanku pada saat aku memasuki ruang makam Nabi … “aku tidak mampu” “..Karena itu sudah di luar batas kemampuan aku berbicara, dan aku tidak pernah berpikir bahwa suatu hari aku akan ditanyakan tentang pengalaman ini. Dan aku jamin bahwa aku tidak akan dapat melakukan atau melalui pengalaman itu lagi”. Kemudian Syaikh Ahmad Sahirty mendekat kepadaku dan menambahkan, “Lihatlah lensa kacamata ini (Syaikh Ahmad Sahirty menunjukkan ketebalan kacamatanya –red) dan lihatlah berapa banyak rambut putih, itu semua menunjukkan berapa berat tahun kehidupan yang ku bawa. Usiaku, meski tidak ku hitung, tapi aku pernah mendengar mereka mengatakan bahwa aku lahir pada tahun 1333 H (1917 M). Dan seumur hidupku, aku tidak memiliki kegemaran selain kecintaaan pada aroma indah dan parfum. Aku telah menghabiskan jangka waktu yang panjang di tahun-tahun tersisa, berusaha untuk memuaskan nafsu mencium segala keharuman yang ada. Aku belajar banyak, dan aku memberitahu Anda dengan keyakinan: bahwa aku memiliki keahlian khusus bagaimana mencampur minyak wangi dan menghasilkan wewangian terbaik, dan tidak ada orang lain yang bisa membuat wewangian seperti racikanku”. “Aku katakan ini karena aku menemukan ketidakmampuan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada malam yang diberkati itu, ketika pintu dibuka untuk kami, dan kami memasuki ruang pemakaman baginda Nabi, aku menghirup keharuman dan aroma yang tidak pernah ku ketahui atau mencium sebelumnya maupun sesudahnya, dan tidak pernah dikenal seumur hidupku. Aku tidak pernah tahu rahasia komposisinya: itu adalah keharuman di atas keharuman, aroma diatas aroma – sesuatu yang lain daripada yang lain, bahkan akan membuat takjub seorang ahli sekalipun, atau pedagang parfum manapun juga tidak akan pernah mencium seperti itu sebelum atau sesudahnya.” Ketika aku memintanya menggambarkan bagaimana ruang makam Nabi, Syaikh Ahmad Sahirty tampak bergetar hebat, Dan beliau berkata dengan suara samar: “Aku yakin bahwa tinggi ruangan itu 11 meter. Di bawah kubah hijau ada kubah kecil lainnya dan tertulis di situ : Makam Nabi صلى الله عليه وآله وسلم, Makam Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Makam Umar ibn al-Khoththob. Dan aku juga melihat bahwa ada makam lain yang kosong (mungkin tempat kosong ini kelak untuk makam Nabi ‘Isa ‘alihissalam, wAllohu a’lam –red), dan di samping empat makam adalah ruang Sayyidah Fatimah az-Zahra yang merupakan rumah dimana beliau dan keluarganya tinggal. Dari saking kagumnya, kami sampai tidak tahu bagaimana membersihkan potongan-potongan khusus yang dibuat untuk menempelkan kain pada kubah, (jari-jari kami bergetar) dan napas kami memburu. Kami tinggal selama 14 malam penuh, bekerja dari setelah sholat Isya sampai adzan pertama waktu Fajr untuk menyelesaikan tugas ini. Kami terus membersihkan potongan-potongan lama, melepas simpul dari penutup lama, dan membersihkan semua debu dan bulu merpati yang terjebak di tempat suci tersebut. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1971 Masehi, dan penutup lama yang kami ganti telah berusia 75 tahun sesuai dengan tanggal yang tertulis di atasnya. Aku adalah orang pertama yang masuk, bersama Sayyid Habib tokoh-tokoh Madinah al-Munawwaroh, dan (Syaikh) As’ad Syiroh yang merupakan direktur wakaf keagamaan Madinah pada saat itu, dan Habib Maghribi dari manajemen pabrik, dan Abdul Karim Falimbani, Nasir Qori, Abdur Rahim Bukhari dan lain-lain. Kami berjumlah 13 orang, aku tidak ingat sebagian besar dari mereka, karena saat ini mereka telah meninggal dunia kembali kepada rahmat Alloh. Kami didampingi kepala Suku Aghwaat (juru kunci dan penjaga makam Nabi turun-temurun). Kami menggunakan bahasa isyarat dan kalau terpaksa berbicara akan kami lakukan dengan berbisik-bisik. Aku, yang pada waktu itu mataku sudah lemah dan kacamata ini tidak pernah meninggalkan mataku sejak bertahun-tahun sebelumnya, tapi di ruang itu aku berubah menjadi orang lain, sungguh aku merasakan hal itu, dan perbedaan itu sangat jelas bagiku.” Syaikh Ahmad Sahirty bersumpah, kemudian meneruskan: “Di situ aku sanggup memasukkan benang ke lubang jarum tanpa kacamata ku, meskipun cahaya di tempat kami bekerja sangat redup. Bagaimana Anda bisa menjelaskan secara ilmiah tentang hal ini? Dan bagaimana Anda bisa menjelaskan fakta bahwa aku tidak merasa alergi (aku adalah penderita alergi akut), aku akan batuk parah jika sedikit terkena debu. Tapi pada waktu itu, aku sama sekali tidak terpengaruh oleh debu ruangan, atau pasir yang terbang ke udara. Seakan pasir tidak lagi pasir, dan seolah-olah debu menjadi obat untuk penyakitku, aku merasa bersemangat dan berjiwa muda seperti ketika usiaku belasan tahun (padahal waktu itu usiaku sudah lebih dari setengah abad). Satu lagi hal aneh yang terjadi padaku, yang rahasia-nya belum aku mengerti hingga saat ini. Kami harus membawa keluar kain bordir (penutup lama) sepanjang 36 meter yang masih tersisa (dan tentunya sangat berat apabila diangkat seorang diri –red). Aku katakan pada mereka untuk melipat dan membungkusnya serta meninggalkannya disitu. Lalu aku pergi menuju bungkusan tersebut, dan meskipun tubuh ini sudah tua dan lemah, tapi aku sanggup memanggulnya di atas bahu ini (seorang diri). Aku pergi keluar dari Ruang mulia itu tanpa sedikitpun merasa berat. Setelah itu, datanglah mereka dengan lima orang muda untuk membawanya dari tempat aku meletakkannya, namun (aneh) mereka tidak bisa [membawanya].” Syaikh Ahmad Sahirty mulai menangis terisak-isak sambil mendesah: “Mereka bertanya siapa yang membawa karung bungkusan itu keluar? Yang menurut mereka sangat berat hingga 5 orang muda dan kuat pun tak sanggup mengangkatnya. Saat ku jawab, ‘akulah yang mengangkatnya’, mereka tertawa dengan penuh rasa tidak percaya hingga datang Syaikh Abdur Rahim Bukhari (lihat FOTO –red), penulis kaligrafi yang terkenal itu bersaksi bahwa benar dia telah melihat aku Syaikh Ahmad Sahirty yang mengangkatnya sendirian!!” Shollu ‘Ala Rosuulillah! Allohumma Sholli wa Sallim wa Baarik ‘Alaihi wa ‘ala Aalih Wallahu a’lam bish-shawabi

Bagikan :

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya

Close
Close